Artikel Hukum & Kriminal Sulut

Kejari Kotamobagu Hentikan 2 Perkara Berdasarkan Keadilan Restorative

KOTAMOBAGU, TAGAR-NEWS.com – Kejaksaan Negeri Kotamobagu melakukan expose permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restorative. Senin 18 September 2023.

Expose dipimpin langsung Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kotamobagu, Elwin Agustian Khahar SH MH didampingi Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Prima Poluakan SH MH dan Jaksa Fasilitator Yohanes Mangara Uli Simarmata, S.H.

Sebanyak 2 perkara diajukan dihadapan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Dr. Fadil Zumhana diwakili Direktur Orang dan Harta Benda (Oharda) pada Jampidum Kejaksaan Agung. Dalam expose tersebut Jampidum melalui Dir Oharda menyetujui permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restorative.

Adapun Dua (2) perkara tersebut atas nama Tersangka Heldi Paputungan melanggar Pasal 362 KUHP dan tersangka Ridho Arya Putra Muharam melanggar Pasal 363 Ayat (1) Ke-3 KUHP Subs Pasal 362 KUHP.

Selanjutnya, Kajari akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.

Kepala Seksi Intelejen, Meidy Wensen SH dikonfirmasi membenarkan hal itu. “Iya, telah dilaksanakan expose penghentian penuntutan sebanyak 2 perkara dan oleh Jampidum melalui direktur Oharda telah disetujui untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan Restorative,” jelasnya.

Alasan dihentikannya penuntutan (Restorative justice),

Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.

Tersangka belum pernah dihukum, Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.

Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.

Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.

Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.

Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.

Pertimbangan sosiologis dan Masyarakat merespon positif.*

 

Editor: Helmi